HUBUNGAN PATRONKLIEN PADA ZAMAN LIBERALISME DI HINDIA BELANDA
Hubungan Patronklien atau patronase adalah Hubungan kerjasama atau timbal balik antara satu dengan yang lainnya, dimana hubungan tersebut bisa menghasilkan keuntungan keduaberlah pihak, sama-sama merugikan, atau pihak satu mengalami keutungan dan pihak lain mengalami kerugian.
Pada Zaman Hindia Belanda, banyak sekali timbul hubungan partonklien, namun penulis mengambil contoh hubungan partonklien pada masa Libralisme. Libralisme terjadi pada tahun 1870-1900, setelah kemenangan yang diperoleh kaum Liberal di negeri Belanda pada tahun 1850, Golongan ini mempunyai suara kuat dalam mengatur jalnnnya pemerintahan. Mereka ingin menerapkan azas-azas Liberalisme di tanah jajahan, mereka berpendapat bahwa pemerintah tidak bol.eh ikut campur dalam urusan ekonomi, urusan ekonomi seharusnya diserahkan kepada pihak swasta saja, agar kaum swasta dapat leluasa menjalankan usahanya maka pemerintah harus member kebebasan sepenuhnya terhadap kaum swasta dan modal swasta Belanda untuk mengembangkan kegiatan ekonominya di berbagai bidang kegiatan ekonomi.
Sebagian besar pendukung kaum liberal adalah para pengusaha swasta Belanda dan pada masa sebelumnya tidak dapat ikut ambil bagian di tanah jajahan, karena kaum konservatif lebih banyak memegang kekuasaan politik. Akhirnya setelah kaum Liberal memperoleh kesempatan mereka memanfaatkannya.
Oleh karena itu setelah sistem tanam paksa dihapuskan mereka menginginkan agar diganti denagn usaha swasta, untuk itu perlu adanya kebebasan bekerja bagi kaum pengusaha dan disediakan tanah untuk usahanya. Tujuan pokok mereka bukanlah untuk menjadikan tanah jajahan lebih baik tetapi untuk menjadikan tanah jajahan pusat keutungan bagi mereka.
Pemerintah colonial pun member kesempatan bagi para pengusaha swasta untuk menanamkan modal di tanah jajahan, terutama di daerah perkebunan di Jawa dan Sumatera Timur. Selama tahun 1870-1900 Indonesia terbuka bagi modal swasta barat sehingga Zaman itu sering disebut sebagai Zaman Liberalisme.Selama masa itu, para pengusaha swasta Belanda dan orang-orang Eropa membuka perkebunan kopi, the, gula, dan kina di jawa dan Sumatra Timur.
Adanya Undang-undang Agraria pada tahun 1870 dan itu mendukung dibukanya perkebunan-perkebunan besar itu karena undang-undang Agraria bertujuan untuk melindungi petani-petani agar terjaga haknya di tanah jajahan yang tanah miliknya dikuasai oleh orang-orang asing, dan yang kedua adalah member peluang pada para pengusaha asing untuk menyewa tanah dari rakyat Indonesia.
Pemerintah memang hanya memberi kebebasan tanah rakyat dalam kegiatan usahanya, tetapi pemerintah melarang pembelian tanah penduduk karena khawatir akan terlalu banyak tanah yang jatuh ke tangan asing, oleh karena itu pemerintah membuat peraturan yang satu pihak menjamin kepentingn kaum asing dan satu pihak melindungi kaum-kaum pribumi.
Pemerintah juga menetapkan jenis tanah yang boleh disewa oleh pihak asing dalam undang-undang agrarian, di dalam undang-undang agrarian dibedakan adanya 2 golongan tanah yaitu pertama, tanah milik Negara yaitu tanah yang tidak secara langsung menjadi hak milk penduduk pribumi, misalnya hutan-hutan dan semua tanah yang berada diluar desa dan penduduknya. Sudah tentu tanah tersebut adalah milik pribumi, tetapi oleh pemerintah Hindia ditetapkan milik pemerintah. Tanah tewrsebut disewa selama 75 tahun. Golongan tanah kedua adalah tanah-tanah milik pribumi tanah itu contohnya, sawah, lading, yang dimiliki langsung oleh penduduk desa. Dan untuk menetapkan kepemilikan tanah itu secara jelas, pemerintah telah member kepastian hokum yang jelas, maka diadakan pengukuran dan pebetapan kelompok tanah oleh pemerintah. Kemudian penduduk menerima surat bukti atas hak milik tanahnya dan tanah ini boleh disewa oleh swasta asing selama 5 tahun dan dilakukan dengan kontrak dan diketahui pemerintah.
Adapula tanah milik pribumi yang dapat disewa selama 30 tahun, dengan adanya penetapan hak milik secara jelas, maka pajak tanahpun dapat dilakukan secara pasti.
Dari kasus tersebut dapat terlihat bahwa dadnya hubungan partonase antara pemilik tanah dengan pemilik modal yang akan menyewa tanah, pemilik tanah mendapatkan uang karena tanah miliknya telah disewa dan para pengusaha asing pun bebas menggunakan tanah karena telah membayar uang sewa terhadap pemilik tanah, semia itu bverdasarkan kesepakatan dan perjanjian yang diatur oleh kedua belah pihak.
Pada akhir abad ke 19 kemajuan industri dan perdagangan Belanda telah terbangun dan mendorong kaum liberal untuk menanamkan modalnya di Indonesia, selain itu perhubungan antara Belanda dan Indonesia semakin dipermudah dengan adanya terusan Suez pada tahun 1869. Harapan kaum Liberal tercapai perkebunan-perkebunan gula, kopi, tembakau dan lainnya meningkat secara pesat, hal itu didukung dengan danya kemajuan industry yang di impor dari luar negeri sehingga lebih men ingkatkan produksi.
Untuk melancarkan produksi, pemerintah Hindia Belanda membangun waduk-waduk, dan saluran-saluran irigasi. Irigasi dibangun untuk kelancaran perkebunan gula dan lainnya., tetapi penduduk sekitar dapat memperoleh manfaatnya dengan dasar giliran, karena itu tidak mengherankan jika di daerah perkebunan gula banyak terdapat irigasi yang telah dibangun sejak zaman ini.
Selain dibangun irigasi, dibangun juga jalan-jalan raya, jembatan-jembatan kereta api, pembangunan ini dimaksudkan untuk menunjang kelancaran penagngkutan hasil-hasil perkebunan., namun pembangunan jalan kereta api, jembatan-jembatan, jalan raya itu mengerahkan tenaga rakyat secara paksa, rakyat dipaksa untuk melakukan kerja rodi, selama masa abad ke-19.
Akibat adanya politik liberal, member keuntungan bagi Belanda karena perkebunan-perkebunan yang didirikan berkembang pesat dan keuntungan besar diraih oleh pihak swasta. Kekayaan bumi hasil iIndonesia mengalir pesat, negeri Belanda menjadi pusat perdagangan hasil tanah jajahan. Tetapi di lain pihak justru membawa kemunduran tingkat kesejahtraan hidup, pertumbuhan penduduk jawa lebih cepat meningkat dibandingkan jumlah makanan.
Adanya krisis perkebunan pada tahun 1885 menyebabkan akibat buruk bagi para p;enduduk, uang sewa tanah, upah bekerja di pabrik dan perkebunan meniru, hasil-hasil usaha kerajinan menurun akibat banyaknya barang-barang luar yang diimport. Pengangkutan gerobak merosot setelah adanya kereta api.
Menurut Suatu penyelidikan, pada masa itu walau penduduk mendapatkan penghasilan dari hasil sewa tanah, tetapi mereka tetap dirugikan karena adanya beban pajak terhadap pemerintah. Dengan demikian penduduk tanah jajahan hidup dalam kemiskinan, dan kemakmuran penduduk disebabkan beberapa faktor yaitu, adanya pertambahan penduduk yang meningkat pada abad ke-19, sementara jumlah produksi pertanian menurun, kedua adanya sistem tanam paksa dan kerja rodi sehingga timbul penyelewengan dan penyalahgunaan penduduk, ketiga dalam mengurusi daerah luar jawa, pemerintah mengerahkan beban keuangan ke daerah Jawa, keempat adanya sistem pajak yang memberatkan penduduk, kelima danya krisis perkebunan tahun 1885, sehingga mengakibatkan perusahaan-perusahaan mengadakan penghematan dengan jalan menekan uang sewa dan uang upah kerja dan itu teramat merugikan.
Pemerintah juga mengeluarkan peraturan untuk tenaga kerja untuk menagani perusahaan swasta di luar Jawa, antara lain, pekerja-pekerja dari jawa diatur secara kontrak, dan disebut kuli kontrak. Pemerintah menjamin bahwa setiap majikan berhak untuk menghukum para pekerjanya yang melarikan diri sebelum kontrak selesai, praktek-praktek ini telah membawa dampak yang buruk bagi bangsa pribumi.
Secara umum Zaman Liberalisme telah membawa perubahan, masyarakat pedesaan telah mulai mengenal uang dalam kehidupan sehari-harinya. Selain itu mulai muncul sistem kerja upahan, dengan begitu banyak orang lebih menggantungkan kehidupannya terhadap upah tersebut. Orang-orang di pedesaan lebih memilih perkebunan dan pabrik sehingga sector pertanian ditinggalkan.
Praktek kolonial tersebut telah banyak membawa kesengsaran bagi rakyat, tidak ada bedanya dengan masa-masa sebelumnya, seperti masa Daendels, Raffles, Komisaris Jendral semua mengatasnamakan perubahan dan perbaikan namun tetap saja semua akhirnya berpangkal pada keuntungan semata. Keuntungan tersebut hanya didapat untuk kaum Belanda, pihak jajahan yang telah berkorban demi kesejahtraan Belanda tidak diperbaoki kehidupannya malah membuat lebih hancur dari sebelumnya.
Usaha-usaha untuk lebih memperhatikan nasib tabah jajahan baru terpikir oleh Belanda pada peralihan abad 19 menuju abad 20, setelah minculnya buku Max Havelaar dan perubahan tersebut dikenal dengan sebiutan politik etis yang menganut 3 prinsip yaitu, Irigasi, edukasi, emigrasi, segala itu harus dilaksanakan karena Belanda telah bnyak berhutang terhadap Nusantara.
Patronase dalam zaman liberalism tidak hanya terlihat pada penyewa tanah dan pemilik tanah tetapi jika diperhatikan disini, dapat dilihat adanya hubungan patronase antara rakyat dan pemerintah, dimana rakyat harus mengikuti peraturan yang dibuat pemerintah, antara pemerintah kolonial dan pihak swasta yang sama-sama mendapatkan keuntungan dari rakyat pribumi yang dirugikan, antara pekerja dan majikan, antara buruh dan majikan dimana majikan sangat berkuasa sekali disini dan merugikan pekerja.